NAFKAH TAK LAYAK BAB 4

3

NAFKAH TAK LAYAK BAB 4

Gajian yang ditunggu akhirnya tiba juga. Empat ratus dua puluh ribu rupiah. Sampai deg-deg an aku megang uang sebanyak itu. Sejak aku keluar kerja dari warung Pak Handoko setahun belakangan, belum pernah aku megang uang banyak. Miris sekali memang, tapi begitulah kenyataannya.
Senyumku mengembang seketika. Biar saja uang ini kupakai untuk membeli makanan yang aku pengin. Tak lupa membelikan Iriana susu kotak 10 dan beberapa camilan untuknya. Kumasukkan dalam kardus dan menyimpannya di bawah ranjang.

NAFKAH TAK LAYAK
NAFKAH TAK LAYAK

Bukan petak umpet, hanya saja aku nggak ingin camilan Iriana diembat ayahnya juga. Biasanya begitu, Mas Rendi tak pandang bulu. Jika ada makanan selalu diserbu meski itu milik Iriana sekali pun. Dia memang nggak pernah mau mengalah dari dulu.
“Tumben beli banyak camilan, War,” ucap Pak Handoko saat aku belanja ke warungnya bersama Mbak Siti.
“Iya, Mas Han. Sekarang Mawar kerja di laundry milik Widia perempatan jalan depan bareng saya,” timpal Mbak Siti kemudian.
“Memangnya Iriana boleh diajak?” tanya Pak Handoko lagi.
“Boleh, Mas Han. Tadinya nggak boleh, cuma aku minta keringanan khusus buat Mawar saja, akhirnya Widia mengizinkan asal pekerjaan beres tepat waktu,” ucap Mbak Siti lagi.

Nafkah tak layak

Pak Handoko menatapku sekilas sembari menganggukkan kepalanya. Aku pun membalasnya dengan senyum.
“Totalnya berapa, Pak?” tanyaku setelah Pak Handoko menghitung semua belanjaanku dari troli.
“Gratis buat kamu, nggak sampai seratus ribu kok. Anggap saja bonus,” ucap Pak Handoko sambil tersenyum lebar.
“Nggak lah, Pak. Bisa timbul fitnah nanti. Dikira saya ada apa-apa dengan Pak Han,” balasku cepat. Kuberikan selembar uang merah di atas meja kasir.
“Masak ada apa-apa cuma dikasih belanjaan yang nggak sampai seratus ribu, War? Pelit amat,” gurau Pak Handoko lagi.
“Nggak ah, Pak. Saya bayar saja lagipula saya punya uang kok,” jawabku lagi. Mbak Siti pun ikut membelaku. Walau bagaimanapun aku nggak mau Mas Rendi salah paham lagi. Aku harus bisa jaga harga diri sebagai seorang istri.
Setelah membayar belanjaan, aku dan Iriana kembali membonceng motor Mbak Siti sampai rumah. Kalau Mas Rendi nggak nongkrong bareng teman-temannya, sebelum maghrib dia sudah sampai rumah.
Sebelum pulang aku membeli martabak cokelat kacang. Sudah lama sekali aku tak makan martabak seperti ini. Kusuapi Iriana perlahan, sepetinya dia juga begitu menikmati makanan yang kubeli. Tak terasa air mata menitik seketika.
Betapa dzalimnya kamu, Mas. Sekadar martabak saja kamu tak pernah membelikanku, padahal jelas kamu terbiasa membelikannya untuk Mita dan ibu, bahkan kadang aku lihat bungkus martabak di tong sampah. Pasti kamu habiskan sendiri semalaman sembari nonton bola. Benar-benar keterlaluan!
Kututup kembali bungkus martabak, aku hanya mengambil tiga potong saja sementara Iriana makan dua potong saja belum habis juga. Sengaja kusisakan sepotong martabak di sana, sementara yang lain kumasukkan ke dalam kantong plastik es dan memasukkannya ke dalam kulkas paling bawah.
Mas Rendi nggak mungkin sibuk memeriksa isi kulkas yang hanya berisi bayam dan kangkung itu. Aku juga sengaja membelikan sosis Iriana kemasan mini yang berisi tiga biji saja sudah kugoreng sekalian tanpa sisa.
Perlahan menyalakan kompor untumemasak mi dengan sawi dan telur. Sepertinya lebih menggugah selera dengan cabe rawit di atasnya. Tak lupa menyeduh teh hangat dengan gula yang cukup. Aku sudah membeli gula sekilo dari warung Pak Han tadi. Kusimpan di tempat lain yang tak Mas Rendi ketahui, sementara di toples gula kuberi beberapa sendok saja.
Sungguh, aku tak bermaksud pelit dan perhitungan. Hanya sekadar ingin membuat Mas Rendi sadar, bagaimana rasanya jika istrinya membalas dengan kepelitan yang hampir sama. Meski aku masih jauh di atasnya karena tetap tak tega menikmati semua jerih payahku sendiri. Tetap saja memberikan jatah buat dia meski hanya sedikit saja.
Aku dan Iriana sedang menikmati suapan terakhir saat terdengar salam dari luar. Sepertinya Mas Rendi sudah pulang. Aku menjawab salamnya tanpa beranjak dari kursi.
“Wah masak apa nih? Enak banget kayaknya,” teriak Mas Rendi dari ruang tamu. Dia pasti masih melepaskan kaos kaki dan sepatu pantofelnya.
Aku diam saja mendengar pertanyaan Mas Rendi. Pura-pura tak mendengar dan lebih asyik menyeruput kuah mi yang tersisa di mangkok, bahkan saat laki-laki itu berdiri tegak di samping kulkas menatapku dan Iriana dengan mata membola pun, aku pura-pura tak melihatnya.
“Enak banget itu, War. Martabak, sosis dan kamu baru saja masak mi pakai sawi dan telur?” tanya Mas Rendi dengan wajah berbinar saat melihat sampah mi dan telur di tempat sampah. Aku hanya mendongak lalu mengiyakan.
“Berarti kamu sudah mulai berhemat dong, ya? Jatah sepuluh ribunya bisa buat beli martabak segala. Biasanya kamu nggak pernah beli ginian,” ucap Mas Rendi lagi. Aku pun membelalakkan mata.
“Memangnya kamu pikir duit sepuluh ribu buanyaaak banget, ya, Mas? Sampai sisa-sisa begitu. Ohya itu duitnya masih di atas kulkas. Aku nggak butuh lagi,” ucapku sedikit kesal.
Kini, giliran Mas Rendi yang membelalakkan kedua matanya.
“Terserah kamu kalau nggak butuh nafkah lagi, lumayan bisa buat beli sebungkus bakso besok,” ucapnya sembari memasukkan selembar uang sepuluh ribu ke dalam kantong bajunya.
Bukannya sadar, malah makin pingsan! Astaghfirullah, Mas … Mas! Aku hanya bisa istighfar dan geleng-geleng kepala dibuatnya.
“Bikinin mi telurnya juga dong, War. Lapar nih!” Perintah Mas Rendi.
“Habis. Cuma beli telur sebiji sama mie rebus sebiji. Tinggal sawinya tuh, Mas,” ucapku santai.
“Dih teganya beli cuma sebiji. Mikir perut sendiri kamu, War?” Aku diam saja tak menjawab.
“Kalau gitu, mana minta martabaknya. Enak banget kamu makan sendiri. Jangan pelit sama suami, durhaka namanya!” ucap Mas Rendi kemudian saat aku da Iriana selesai makan.
Kotak martabak yang berisi sepotong martabak itu masih di sana. Sengaja kusisakan buat Mas Rendi. Lumayan kan sepotong, daripada dia biasanya makan sendiri tanpa sisa.
“Astaghfirullah, War! Tega kamu kasih suami sepotong doang?” Teriak Mas Rendi saat membuka kotak martabak. Aku menoleh seketika. Kedua mata kami saling tatap.
“Kenapa kaget? Masih untung aku bagi, Mas. Daripada kamu nggak pernah ingat aku dan Iriana tiap kali makan,” balasku kemudian. Mas Rendi tersentak kaget mendengar ucapanku.
“Oh, jadi kamu balas dendam sama suami sendiri?” tuduhnya lagi.
“Nggak lah. Kalau balas dendam, kamu nggak akan kubagi. Satu potong cukup, Mas. Jangan celamitan!” ucapku sembari meninggalkannya sendiri. Dia yang masih melongo saat melihatku dan Iriana pergi.

Baca juga  CARA ABU NAWAS MENYELESAIKAN MASALAH BIKIN HAKIM ISTANA BENGONG

Penulis : NawankWulan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *